Senin, 02 April 2012

Mewujudkan Pendidikan Agama Yang Toleran

UPAYA MEWUJUDKAN PENDIDIKAN AGAMA YANG TOLERAN
Oleh: Caswita

1. Pendahuluan
Berdasarkan catatan sebuah LSM yang konsen bergerak dalam bidang penegakan demokrasi dan toleransi umat beragama yaitu The Wahid Institut pimpinan Yeni Wahid, tercatat sedikitnya pada tahun 2010 telah terjadi 63 kasus pelangaran kebebasan beragama yang rata-rata 5 kasus perbulan. Kemudian tindakan intoleransi pada tahun 2010 berjumlah 133 kasus yang terseber diberbagai wilayah. Tindakan tersebut tidak sedikit yang berakhir dengan tindak kekerasan. Dan The Wahid Institut kembali mencatat bahwa korban dari berbagai tindakan kekerasan, karena perbedaan agama, keyakinan dan intoleransi ini berjumlah 153 korban, baik individu atau kelompok. Ironisnya kekerasan tersebut banyak dilakukan oleh umat beragama dan mengatasnamakan agama, sehingga agama menjadi sebuah hal yang menakuatkan yang penuh dengan kekejaman dan kekerasan.
Agama seakan menunjukan wajah antagonisnya, disatu sisi agama menawarkan serta menjanjikan kedamaian, kebahagiaan, kasih sayang serta saling mencintai, tapi disatu sisi seakan bertolak belakang. Agama telah berperan sebagai pemicu konflik, permusuhan serta radikalisme dengan melakukan tindak kekerasan dengan dalil membela tuhan serta menggunakan dogma-dogma agama untuk melegitimasi tindakannya. The Wahid Institut melaporkan dari data para pelaku tindakan intoleransi dan diskriminasi bahwa ormas-ormas masih menjadi pelaku utama dengan 55%. Diikuti kelompok terorganisir 20% dan individu 15%.Ormas yang dimaksud di atas adalah ormas-ormas berbasis agama atau paling tidak beratribut agama tertentu. Mereka juga menggunakan jargon-jargon agama untuk menjustifikasi tindakannya.
Hidup ditengah masyarakat yang plural, dengan keragamaan suku, bangsa, agama dan budaya, sudah menjadi kewajiban untuk hidup secara bersama-sama dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan multikulturalisme. Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan berbagai berbedaan lainnya terutama agama, sudah tidak pantas masyarakatnya saling meghakimi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dan menganggap dirinya paling benar. Prilaku saling mencurigai antara kelompok terutama antar umat beragama merupakan prilaku yang bisa menjadi pemicu tindakan intoleransi, ibarat bom waktu yang kalau dibiarakan pada waktunya akan berubah menjadi prilaku kekerasan.
Semua agama, apapun namanya tindak menghendaki adanya tidakan kekerasan, semuanya mengaku sebagai agama kasih sayang, cinta damai dan juga rahmatan lilalamin, oleh karena itu menjaga kerukunan antar umat beragama serta sikap toleransi merupakan tidakan yang wajib dan harus terus dibangun diantara umat beragama. Hal penting yang harus dilakukan dalam rangka menciptakan perdamaian, kasih sayang, toleransi, saling pengertian dan kerukunan hidup umat beragama adalah dengan cara membangun komunikasi antar agama yang humanis-dialogis. Komunikasi antar umat beragama ini merupakan media pembelajaran dan pendidikan dalam rangka menciptakan perdamaian (peace education), sikap egaliter, keterbukaan dan kejujuran.(Imam Machali: 2011).
Dalam kajian Bruce A. Robinson dalam “religious intolerance” (www.religioustolerance.org) menguraikan bentuk-bentuk intoleransi yang selama ini terjadi, diantaranya : Pertama, penyebaran informasi yang salah tentang kelompok kepercayaan atau praktek, meski ketidak akuratan informasi tersebut bisa dengan mudah dicek dan diperbaiki. Kedua penyebaran kebencian mengenai seluruh kelompok, misalnya menyatakan atau menyiratkan bahwa semua anggota kelompok tertentu itu jahat, berperilaku immoral, melakukan tindak pidana, dan sebagainya. Ketiga mengejek dan meremehkan kelompok iman tertentu untuk kepercayaan dan praktek yang mereka anut. Keempat mencoba untuk memaksa keyakinan dan praktek keagamaan kepada orang lain agar mengikuti kemauan mereka. Kelima pembatasan hak asasi manusia anggota kelompok agama yang bisa diidentifikasi. Keenam mendevaluasi agama lain sebagai tidak berharga atau jahat. Ketujuh menghambat kebebasan seseorang untuk mengubah agama mereka.

2. PERAN PENDIDIAN AGAMA MEWUJUDKAN TOLERANSI
Sikap toleransi wajib dipupuk sedini mungkin, mengingat semakin maraknya tindakan-tindakan intoleransi umat beragama yang mengusik keharmonisan kerukunan umat beragama. Pendidikan agama memilki peranan vital untuk menciptakan semua itu. Sikap fanatik yang berlebihan, menyalahkan kelompok atau golongan lain, mencurigai agama lain merupakan prilaku yang harus dikikis dari pikiran anak didik. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia harus mejadi pelopor dan contoh dalam hal toleransi, jangan sampai ada stigma negatif bahwa Islam agama dengan kekerasan. Islam sebagai agama dan sumber peradaban sangat konsen pada pembelaan terhadap segala bentuk penindasan dan mengajarkan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sikap toleransi, yakni penghormatan, penerimaan dan apresiasi terhadap keragaman agama, budaya, sudut pandang yang sesungguhnya melekat dalam Islam.
Untuk mewujudkan semua itu Guru agama Islam memiliki peran sentral dalam mengajarkan pendidikan agama Islam. Guru PAI sebaiknya tidak sibuk mengajak siswa yang berlainan agama untuk menjadi Islam, tetapi guru harus bisa menunjukan kesantunan dan kemuliaan akhlak prilaku umat Islam. Selanjutnya guru PAI bertugas menjadikan siswa menjadi manusia yang taat beragama dan menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar. Selain itu juga harus bisa menjadikan peserta didik menjadi manusia yang bertanggung jawab baik sebagai individu ataupun sosial.
Pendidikan cintai damai, saling menghormati dan mengharagai antar sesama manusia tanpa memandang agama dan golongannya harus terus di ajarkan kepada peserta didik, agar dia lebih tahu bahwa hidup di muka bumi tidak hanya kelompok atau golongan agamanya saja tetapi ada agama dan kelompok lain. Program pendidikan cintai damai sejalan dengan program yang dicanangkan oleh UNESCO dengan menetapkan bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year for the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai dan tanpa kekerasan (International Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Children of the World). Aspek-aspek yang dikembangkan pada program peace education adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity). (Imam Machali: 2011)
Untuk mewujudkan sikap toleransi antara umat beragama tidak mudah dilakukan oleh guru PAI, dengan alasan. Pertama Islam adalah agama yang didapat oleh siswa ataupun guru dari proses turun temurun, sehingga akan sulit membuka diri untuk menerima agama lain, dengan alasan takut adanya pengaruh agama lain sehingga melunturkan iman umat Islam. Kedua belum terbiasanya guru agama berdampingan atau berdialog dengan umat agama lain, sehingga menyebabkan terus saling mencurigai. Ketiga, minimnya ruang untuk melakukan dialog serta kerjasama antar umat beragama.
Menurut hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) UIN Jakarta, pimpinan Prof. Dr. Bambang Pranowo, yang dilakukan pada Oktober 2010-Januari 2011. Penelitian tersebut dilakukan degan melibatkan 590 dari total 2.639 guru PAI dan 993 siswa beragama Islam dari jumlah 611.678 murid sekolah menengah di Jabodetabek sebagai responden. Penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa guru Pendidikan Agama Islam Se-Jabodetabek memiliki sikap intoleransi. Di kota besar saja yang masyarakatnya plural, multikultural para guru agama masih belum menerapkan sikap toleransi, bagaimana guru agama yang didaerah yang masyarakatnya homogen dan tidak lebih plural dari masyarakat kota, tentu kondisinya berbeda.
Kenyataan tersebut memang tidak bisa dipungkiri dan sulit dihindari karena pertama Islam yang didapat secara turun temurun, sangat menjiwai dan sulit menerima keberadaan dari agama yang lain. Kedua masih alerginya umat Islam terhadap hal-hal atau budaya yang berasal dari luar Islam, dengan dampak pengaruh buruk dari paham sekulerisme, pluralisme, liberalisme, multikulturalisme dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan sangat sulit melakukan dialog dengan umat yang beda agama. Ketiga masih adanya panatik berlebihan, tanpa melihat sisi-sisi universal kemanusiaannya. Komarudin Hidayat mengatakan dalam suatu seminar bahwa kita hidup satu bumi, satu matahari satu bulan, kenapa mesti ribut-ribut hanya karena berbeda, bukankah berbagai perbedaan itu akan menjadi rahamat bagi seluruh alam. Hanya akan menghabiskan waktu sia-sia kalau kita terus menerus saling curiga antar umat beragama sehingga menyebabkan tidak tenang dalam beribadah dan menjalankan ritual keagamaan lainnya.
Oleh karena itu peran aktif guru agama terutama pendidikan agama Islam untuk mewujudkan, agama Islam yang rahmatan lilalamain, yang saling menghargai antar manusia tanpa melihat agama, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mewujudkan sikap toleransi, mutlak diperlukan. Untuk weujudkan semua itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh sorang guru PAI, pertama mengajarkan bagaimana rasulallah hidup bermasyarakat dengan umat non muslim, bagaimana beliau hidup rukun dan bergaul dengan orang yahudi dan nasrani. Misalnya bagaimana rasul begitu sayangnya terhadap nenek tua yahudi yang buta yang selalu menghinanya, tetapi rasul selalu menyuapi nenek tua buta tersebut, dengan penuh kasih sayang. Kedua guru PAI jangan sampai mengatakan bahwa agama lain itu salah, tetapi katakanlah bahwa agama itu benar menurut penganutnya masing-masing. Karena dalam Islam ada ayat yang menyatakan, “agamamu untukmu dan agamaku untukku”, itu menunjukan bahwa selain agama Islam ada agama lain yang harus dihargai. Ketiga membiasakan berdialog atau bergaul dengan umat agama lain, dengan melihat sisi-sisi universal dan kemanusiannya. Sehingga dengan begitu akan mewujudkan seorang muslim yang bersikap inklusif dan tidak ekslusif.
3. MODEL PENDIDIKAN AGAMA
Menurut Jack Seymour (1997) dan Tabita Kartika Christiani (2009), yang dikutip oleg Agus Nuryatno. Ada beberapa model-model pendidikan dan pengajaran agama, yaitu in, at, dan beyond the wall. Pertama adalah model pendidikan in the wall, yang berarti pendidikan agama yang hanya mengajarkan sesuai degan agamanya, tanpa adanya dialaog dengan agama lain. Model pendidikan agama ini menghasilkan peserta didik yang minim wawasan dan membuka pelung kesalah pahaman. Kedua at the wall, yaitu pendidikan agama tidak hanya mengajarkan agama sendiri, tetapi sudah mendiskusikannya dengan agama yang lain. Tahap ini merupakan tahap transformasi keyakinan dengan belajar mengapresiasi orang lain yang berbeda agama dan terlibat dalam dialog antar agama. Ketiga adalah beyond the wall, pendidikan agama model ini tidak hanya berdialog antar umat beragama tetapi mulai bekerja sama dengan agama lain untuk memerangi kekerasan, penindasan, mengkampanyekan keadilan, perdamaian serta hidup berdampingan tetunya dengan keyakinan agamanya masing-masing.
Selanjutnya guru agama harus bisa memilih model pendidikan agama yang ketiga yaitu bekerja sama dengan agama lain dalam hal kegiatan sosial masyarakat tanpa harus mencampuri wilayah keimanan masing-masing. Kemudian selanjutnya munginkan guru agama dengan sukarela melakukan kegiatan sosial, misalnya kegiatan donor darah, menyantuni kaum duafa, memerangi kebodohan, kemiskinan, bekerja sama dengan siswa agama lain.
4. Penutup
Pluralisme adalaha sebuah keniscayaan dan fakta sejarah yang tidak bisa dihindari, dinegara yang pural dan multikultural. Oleh karena itu saing menghargai perbedaan adalah keniscayaan, yang harus bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Tidak boleh lagi ada saling kecurigaan diantara pemeluk yang berbeda agama. Toleransi merupakan bentuk dari upaya menghindari kekerasan atas nama agama, kekerasan karena perbedaan. Mudah-mudahan tidak akan ada lagi kekerasan atas nama apapun !

2 komentar:

  1. Tv Games, Silver, Titanium trim Reviews: Titanium Reviews, Premium
    Tv Games, Silver, Titanium titanium mesh trim Reviews: Titanium Reviews, microtouch titanium Premium, titanium white octane blueprint Titanium Scraper Packages, Silver, Titanium Scraper Packages, titanium engagement rings Silver, Bronze, Silver nano titanium

    BalasHapus