Selasa, 03 April 2012

Metode Penulisan Karya Ilmiah


Oleh:
Prof. Ir. Urip Santoso, S.IKom., M.Sc., Ph.D
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu

1. Pendahuluan
Suatu karya dapat disebut sebagai karya ilmiah jika ia memenuhi beberapa syarat, yaitu ia harus kreatif dan obyektif, logis dan sistematis dan menggunakan suatu cara atau metode tertentu. Obyektif artinya tulisan tersebut bebas dari pendapat pribadi, emosi, atau lain hal yang sifatnya subyektif. Tulisan tersebut harus didasarkan kepada fakta, data atau informasi yang akurat, dan jikapun terdapat pendapat maka ia harus didasarkan kepada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kreatif artinya tulisan anda berisi gagasan yang kreatif untuk memecahkan masalah yang berkembang dan bersifat asli dan jauh dari duplikasi. Sistematis artinya tulisan ilmiah mengikuti suatu alur pikir yang runut dan konsisten. Tulisan ilmiah itu juga menggunakan suatu metode baku, yang dapat diuji dan diulang kembali oleh penulis/peneliti lain.
Oleh sebab itu, karya tulis mahasiswa – yang notabene adalah tulisan ilmiah – harus didasarkan kepada prinsip-prinsip tersebut di atas. Pada kegiatan ini akan diuraikan metode penulisan karya ilmiah hasil telaah pustaka. Karya ilmiah hasil telaah pustaka ini pada dasarnya adalah menganalisis fakta, data atau informasi, dan kemudian mensintesis mereka menjadi suatu konsep, temuan, ide/gagasan atau hipotesis. Hasil telaah pustaka ada yang masih perlu diuji lagi kebenarannya (seperti hipotesis), tetapi ada pula yang tidak memerlukan lagi pembuktian.
2. Materi Penulisan
Materi tulisan karya hasil telaah pustaka antara lain dapat berupa hardcopy seperti buku, jurnal, majalah, prosiding dll., dan dapat pula softcopy, atau dapat pula merupakan hasil komunikasi pribadi dengan para ahli, focus group discussion (FGD) atau bentuk-bentuk lainnya. Bila diperlukan sebutkan secara lengkap spesifikasi sumber bacaan. Contoh untuk yang terakhir ini misalnya software, patent, program dll. Baca sumber bacaan secara ringkas dan efisien. Pertama-tama anda baca judul. Jika judul tulisan sesuai dengan apa yang anda butuhkan barulah anda baca abstrak. Jika anda telah mendapat informasi yang cukup dengan membaca abstrak maka anda tidak perlu membaca isi tulisan seluruhnya. Jika memang anda perlu informasi lebih lanjut barulah anda membaca bagian-bagian lain yang anda nilai penting dan dibutuhkan. Jadi tidak perlu semua isi tulisan dibaca. Ambil yang anda butuhkan. Dengan cara ini anda tidak banyak membuang waktu.
Materi tulisan tersebut dapat pula berasal dari sumber primer, sekunder atau bahkan tersier. Untuk tulisan ilmiah anda dianjurkan untuk mengacu kepada sumber primer seperti jurnal ilmiah. Beberapa keuntungan sumber primer antara lain adalah: a) merupakan sumber bacaan termutakhir, b) anda dapat menarik intisari lebih akurat. Kekurangan sumber sekunder antara lain bahwa anda tidak dapat menarik intisari yang akurat sebab sudah ada penulis lain yang melakukannya. Padahal, bisa jadi sang penulis tadi menarik intisari suatu karya ilmiah berdasarkan kepentingannya, atau hasil simpulannya kurang akurat. Fakta ini sering saya temui dalam karya-karya ilmiah.
Lokasi dimana anda memperoleh data, fakta, informasi atau bentuk lainnya dapat anda tulis jika memang itu penting untuk ditulis. Misalnya, anda menelusur sumber bacaan melalui jasa institusi lain seperti LIPI. Atau anda mendapatkannya di perpustakaan. Meskipun tidak mutlak, alangkah baiknya jika anda mencantumkan perpustakaan tempat anda memperoleh sumber bacaan.
Hal lain yang mungkin penting untuk dijelaskan adalah periode waktu sumber bacaan yang diambil. Sumber bacaan yang dianjurkan untuk digunakan sebagai bahan rujukan adalah sumber bacaan yang mutakhir. Batasan ini tidaklah kaku. Ada yang membatasinya lima tahun terakhir, dan ada pula yang sepuluh tahun terakhir. Ini bukan berarti sumber bacaan lebih dari sepuluh tahun tidak boleh disitasi. Kadang-kadang sumber bacaan yang lebih dari sepuluh tahun diperlukan untuk menelusur sejarah perkembangan suatu ilmu pengetahuan. Selama masih relevan dengan topik tulisan anda, anda dapat mensitasinya.
3. Metode Penulisan
Ada beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam penulisan karya ilmiah hasil telaah pustaka yaitu:
a. Inventarisasi ide atau gagasan.
b. Memilih ide atau gagasan
c. Ubah ide menjadi topik dan judul tulisan.
d. Buat rancangan tulisan.
e. Berdasarkan kerangka tulisan, himpun sumber bacaan yang sesuai.
f. Buat intisari-intisari sumber bacaan yang dapat berupa fakta, data atau informasi..
g. Susun intisari-intisari ke dalam sub judul yang sesuai pada kerangka tulisan.
h. Pengolahan data, fakta atau informasi.
i. Metode analisis dan sintesis.
j. Hasil analisis dan sintesis tersebut disimpulkan yang dapat berupa fakta, data atau informasi, konsep, temuan, ide, gagasan, hipotesis dll., yang berbeda dengan intisari-intisari yang ada di sumber bacaan.
Inventarisasi ide atau gagasan
Mungkin anda pernah terbangun di tengah malam. Saat terbangun terlintas sebuah ide/gagasan. Atau mungkin anda mimpi dan anda terkesan dengan mimpi anda dan kemudian muncul ide. Atau saat anda santai juga tercetus ide. Atau di saat-saat lain yang tak terduga. Apa yang anda lakukan? Mengabaikan, menunda mencatat, segera mencatat atau tindakan lainnya?
Sebuah ide seringkali muncul tanpa terduga-duga seperti yang saya ilustrasikan di atas. Oleh karena itu, mungkin sekali anda sering mengabaikannya. Mungkin anda akan bergumam: ”Ah, nantilah mencatatnya”. Atau: ”Ah tak pentinglah itu”. Atau gumaman-gumaman senada lainnya. Tapi apa yang terjadi? Sebagian besar ide yang tercetus yang tidak didokumentasikan akan menguap entah kemana. Ini sangat tidak efisien. Sebab, mungkin sekali ketika anda berniat menulis sesuatu mengalami kesulitan dalam mendapatkan ide. Padahal, mungkin sekali ide atau gagasan tersebut telah pernah terlintas dalam pikiran anda. Coba jika saat itu pula anda mencatatnya, pastilah anda tidak akan kesulitan mendapatkan ide. Saran saya, anda dapat menuangkan ide anda dalam buku ide.
Sebuah ide dapat dimunculkan melalui berbagai jalan antara lain dengan imajinasi, membaca, komunikasi pribadi dengan para ahli, focus group discussion, menghadiri seminar, atau cara-cara lain yang lebih spektrakuler seperti mimpi.
Memilih ide
Tidak semua ide dapat anda tulis. Banyak alasan untuk itu. Mungkin ide itu kurang hangat atau kurang menarik. Mungkin juga hangat dan menarik tetapi anda tidak mampu menulisnya. Atau sejumlah alasan lainnya. Oleh sebab itu, ide-ide yang tertuang dalam buku ide dapat anda pilih.
Lalu apakah ide yang tidak dipilih kita buang? Tentu saja tidak. Simpan saja. Mungkin sewaktu-waktu anda membutuhkannya.
Ubah ide menjadi topik tulisan
Ide terpilih itulah yang kemudian dijadikan topik tulisan anda. Ada beberapa syarat agar topik tulisan benar-benar dapat diangkat menjadi sebuah tulisan yang menarik, yaitu: a) pertimbangkan apakah topik tersebut menarik baik bagi anda maupun pembaca?; b) apakah anda yakin mampu menulisnya?; c) cukupkah sumber bacaan dari topik yang anda pilih? Ketiga pertanyaan tersebut harus anda jawab sebelum anda menulis.
Buatlah topik secara garis besar, sebagai pedoman untuk membuat kerangka tulisan. Topik dapat langsung menjadi judul, atau dapat pula dari topik anda turunkan sebuah judul sementara. Saya anggap sementara, karena bisa jadi judul akan berubah setelah anda selesai menulis draft atau selesai menulis.
Buat rancangan tulisan
Setelah anda menentukan topik tulisan, sebaiknya anda membuat kerangka tulisan. Kerangka ini berguna sebagai pedoman agar anda tidak menulis sesuatu yang diluar topik tulisan anda. Sesuaikan kerangka dengan judul atau topik yang anda pilih.
Di bagian ini anda dapat merancang bagaimana sumber-sumber bacaan nantinya dikumpulkan dan disusun. Apakah anda akan menyajikannya dalam bentuk tabel, gambar, ilustrasi atau kombinasinya. Hal ini perlu anda perhatikan agar anda mempunyai pedoman ketika anda menyusun tulisan ilmiah. Dengan cara ini anda akan menulis sebuah karya secara efisien dan efektif.
Himpun sumber bacaan yang sesuai
Langkah selanjutnya adalah anda mencari bahan bacaan yang sesuai dengan topik tulisan anda yang telah dirangkum dalam bentuk kerangka tulisan. Baca sumber bacaan secara efisien agar anda tidak banyak kehilangan waktu hanya membaca bahan bacaan yang sebenarnya kurang begitu anda perlukan.
Buat intisari-intisari
Sumber-sumber bacaan yang anda peroleh, kemudian dibuat intisarinya, dan ditulis kembali dengan kalimat anda sendiri. Hindari sejauh mungkin anda hanya memindahkan kalimat orang ke dalam tulisan anda. Ini akan sangat merugikan anda sendiri. Sebab, dengan cara itu anda kehilangan kesempatan untuk berlatih membuat kalimat atau alinea dalam suatu tulisan yang utuh. Akibatnya, kreatifitas anda terganggu, yang pada akhirnya anda tidak akan mampu menghasilkan karya ilmiah yang baik. Orisinalitasnya rendah! Malah, cenderung plagiat!
Disini anda dapat menyusun data, fakta atau informasi baru yang anda intisarikan dari bahan bacaan. Data dapat anda sajikan dalam bentuk tabel, gambar, ilustrasi, teks atau kombinasinya.
Susun intisari-intisari
Intisari-intisari yang telah anda buat disusun ke dalam sub-sub judul yang sesuai dalam kerangka tulisan. Intisari tersebut dirangkai sehingga kalimat yang satu saling berkesinambungan. Demikian pula antar alinea harus sinambung. Tempatkan tabel, gambar atau ilustrasi ke dalam sub-sub judul yang sesuai. Jika anda mengalami kesulitan dalam memasukkan data ke dalam sub-sub judul, anda dapat menempatkannya sementara di sub judul yang anda nilai paling mendekati.
Pengolahan data, fakta atau informasi
Pada tahapan ini anda menganalisis intisari yang berupa data, fakta atau informasi. Data dapat anda analisis baik secara kualitatif maupun kuantitatif, bergantung kepada data, fakta atau informasi yang anda peroleh. Atau dapat pula bergantung kepada tujuan dari karya anda. Ada banyak cara untuk menganalisis tulisan ilmiah. Salah satu yang sering digunakan adalah analisis isi atau content analysis. Disini anda menafsirkan dan mengintisarikan suatu tulisan ilmiah. Pada tahap ini anda harus hati-hati menafsirkan sebuah tulisan. Tafsirkan tulisan secara seimbang dan sesuai fakta yang disajikan. Artinya anda harus menganalisis secara obyektif, bebas dari kepentingan anda sendiri alias subyektif. Tafsir dari suatu data mungkin sekali akan berbeda antar satu ilmuwan dengan ilmuwan lainnya. Itulah sebabnya anda dianjurkan untuk membaca sumber primer. Jika dalam menganalisis data anda menggunakan program komputer tertentu, maka sebaiknya anda sebutkan spesifikasinya.
Hasil analisis data tersebut anda jelaskan secara singkat, padat dan akurat pada bagian analisis dan sintesis.
Analisis dan Sintesis (Hasil dan Pembahasan)
Pada bagian analisis anda dapat menguraikan permasalahan yang ditemukan. Anda disini dapat membuat perbandingan-perbandingan antara satu sumber bacaan dengan sumber bacaan lainnya. Anda dapat mengulas kelemahan-kelemahan yang anda temukan dalam sumber-sumber bacaan. Anda dapat mengulas pula kelebihan-kelebihan yang anda temukan, dan manfaat yang dapat dipetik dari sumber tulisan yang ada.Hasil perbandingan tersebut kemudian anda satukan menjadi suatu kesatuan yang menyeluruh dan utuh (holistik). Cara untuk menganalisis permasalahan dalam sumber bacaan harus ditulis secara singkat dan padat dalam bagian metode penulisan ini.
Pada bagian sintesis anda dapat mengemukakan ide atau gagasan baru untuk memecahkan masalah yang anda temukan. Disini anda dapat secara luas memberikan komentar, membahas, atau bentuk lainnya secara argumentatif. Spekulasi mungkin dibolehkan dalam batas-batas tertentu.
Hasil sintesis ini pada dasarnya adalah berupa data, fakta atau informasi, atau ide baru, yang belum pernah ditulis oleh penulis lainnya. Disinilah karya anda. Disinilah intisari karya anda. Jika anda hanya sampai mengumpulkan informasi-informasi saja, maka itu bukanlah suatu karya ilmiah, melainkan hanya suatu kumpulan-kumpulan informasi. Cara untuk menghasilkan ide/gagasan baru tersebut dijelaskan dalam bagian metode penulisan ini.
Bagian analisis dan sintesis merupakan bagian inti tulisan dari sebuah tulisan ilmiah hasil telaah pustaka. Pada bagian ini anda dapat menggunakan pola pikir induktif, deduktif atau kedua-duanya. Mana yang lebih tepat? Bergantung kepada data, fakta atau informasi yang anda peroleh. Bergantung pula kepada pertanyaan tulisan (perumusan masalah), hipotesis (jika ada) dan tujuan anda menulis.
Simpulkan analisis dan sintesis
Hasil analisis dan sintesis tersebut kemudian disimpulkan yang dapat merupakan data, fakta atau informasi, konsep, ide, gagasan, hipotesis, temuan dll., yang baru dan yang berbeda dengan karya-karya yang telah ada. Hasil analisis dan sintesis ini bisa jadi merupakan sumber hipótesis yang masih memerlukan pembuktian, atau sesuatu yang tidak memerlukan pembuktian karena memang kebenarannya tidak perlu lagi pembuktian. Cara menyimpulkan karya anda perlu dijelaskan secara singkat, tepat dan padat pada bagian metode penulisan ini.
Sistematika Penulisan
Pada dasarnya ada tiga sistematika yang biasa digunakan dalam karya ilmiah hasil telaah pustaka. Sistematika pertama berupa: a) halaman judul, abstrak, pendahuluan, isi, simpulan, ucapan terima kasih, daftar pustaka dan lampiran (jika diperlukan). Ssitematika kedua berupa: a) halaman judul, abstrak atau ringkasan, pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penulisan, hasil dan pembahasan, simpulan, ucapan terima kasih, daftar pustaka, dan lampiran (jika diperlukan). Sistematika ketiga berupa: a) halaman judul, abstrak atau ringkasan, pendahuluan, tinjauan pustaka, metode penulisan, analisis dan sintesis, simpulan, ucapan terima kasih, daftar pustaka, dan lampiran (jika diperlukan). Sistematika mana yang digunakan bergantung kepada format yang diminta oleh penyelenggara.
Selain sistematika, yang perlu anda perhatikan adalah format karya tulis yang diminta. Sering kali suatu karya ilmiah yang berbobot ditolak oleh dewan redaksi atau tidak dimenangkan oleh dewan juri disebabkan hanya oleh karena format yang tidak sesuai. Untuk itu, anda perlu meneliti format yang diminta oleh penyelenggara, dan kemudian memedomaninya.
4. Contoh Metode Penulisan Karya Tulis Bidang Eksakta
Metode Penulisan
Jenis Data
Jenis data, fakta atau informasi yang dikumpulkan terutama berupa data, fakta atau informasi primer yang berasal dari jurnal ilmiah, komikasi pribadi dan focus group discussion (FGD). Data sekunder yang berupa buku, majalah atau lainnya digunakan apabila sumber primer tidak diperoleh. Beberapa artikel ilmiah ditelusur dengan menggunakan jasa penelusuran, yaitu melalui LIPI, sedangkan sebagian besar artikel ilmiah diperoleh dari perpustakaan Universitas Bengkulu dan internet.
Untuk menjaga kemutakhiran data, fakta atau informasi maka hanya sumber-sumber bacaan lima tahun terakhir yang dijadikan acuan dalam penulisan karya ilmiah ini.
Rancangan Penulisan
Agar tulisan yang dibuat efisien dan efektif, disusunlah kerangka tulisan berdasarkan topik tulisan yang diangkat. Berdasarkan kerangka tulisan itulah kemudian data dikumpulkan, disarikan, disusun, diolah, dan ditafsirkan. Hasil tafsiran kemudian dianalisis dan disintesis yang kemudian dihasilkan simpulan. Hasil analisis dan síntesis ini berupa gagasan baru untuk memecahkan permasalahan yang ditemukan dalam literatur.
Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari sumber-sumber bacaan berupa jurnal, majalah, buku, artikel ilmiah di internet, komunikasi pribadi dan sumber-sumber lain yang relevan dengan topik yang dibahas. Pada tahap ini data, fakta dan informasi dicari dan diidentifikasi. Data diseleksi, yang sesuai dengan topik tulisan dipisahkan dari yang tidak sesuai. Data yang sesuai dengan topik tulisan dipisahkan berdasarkan kesesuaiannya dengan sub-sub judul dalam kerangka tulisan.
Teknik Pengolahan Data
Data, fakta atau informasi yang diperoleh kemudian diolah dengan cara tabulasi untuk data kuantitatif dan untuk informasi kualitatif dianalisis dengan analisis deskriptif dalam bentuk teks. Data yang telah diolah kemudian ditafsirkan dengan menggunakan metode analisis isi (………….).
Teknik Analisis dan Sintesis
Analisis dilakukan dengan cara membandingkan intisari-intisari sumber bacaan sebagai hasil pengolahan dan penafsiran data, fakta atau informasi. Pada tahapan ini, dibandingkan pula antara data yang tersedia dengan teori-teori yang relevan. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, maka diungkap permasalahan-permasalahan, kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan atau manfaat-manfaatnya. Permasalahan yang ditemukan itu kemudian dicari alternatif pemecahannya. Pemecahan masalah dilakukan dengan cara membandingkan kelemahan dan kelebihan dari cara-cara yang telah ada. Berdasarkan hasil perbandingan itu kemudian diangkat pemecahan masalah yang merupakan kombinasi dari cara pemecahan masalah yang telah ada. Disini, penulis juga mengemukakan argumentasi untuk mendukung alternatif pemecahan masalah yang penulis kemukakan.
Teknik Penarikkan Simpulan
Simpulan dibuat dengan menggunakan pola pikir induktif, yaitu menarik simpulan dari proposisi-proposisi yang khusus yang kemudian digeneralisasikan. Saran atau rekonmendasi dibuat berdasarkan hasil simpulan.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut: a) halaman judul, b) kata pengantar, c) ringkasan, d) pendahuluan, e) tinjauan pustaka, f) metode penulisan, g) analisis dan sintesis, h) penutup, i) daftar pustaka.
5. Penutup
Terdapat perbedaan antara metode penulisan hasil penelitian dengan metode penulisan hasil telaah pustaka. Meskipun demikian, satu hal yang sama adalah bahwa keduanya menggambarkan langkah-langkah atau tahapan penulisan.
Daftar Pustaka
Adnan, Z. dan Zifirdaus, I. 2005. Merebut Hati Audiens Internasional: Strategi ampuh meraih publikasi di jurnal ilmiah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Dikti. 2008. Pedoman Umum Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) Bidang IPA, IPS dan Ilmu Pendidikan. Dikti, Depdiknas, Jakarta.
Rifai, M. A. 1995. Pegangan: Gaya Penulisan, Penyuntingan, dan Penerbitan Karya Ilmiah Indonesia. UGM Press. Yogyakarta.
 

Senin, 02 April 2012

INTERAKSI BUDAYA DAN PENGARUH TERHADAP KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

  Oleh : Caswita

1.      Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai naluri untuk selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitar, dari interaksi tersebut menghasilkan beraneka ragam budaya. Budaya merupakan hasil kreasi tertinggi dan luhur dari cipta, rasa, karsa suatu komunitas sosial yang diwariskan secara turun temurun.[1] Budaya akan sangat mewarnani kehidupan sosial masyarakat dan besar sekali pengaruhnya terhadap prilaku karakter seseorang. Indonesia adalah negara besar, negara dengan pulau terbanyak di dunia (17.504), lebih dari 740 suku bangsa, serta tidak kurang dari 583 bahasa daerah dengan 67 bahasa induk. Jumlah penduduk Indonesia menurut BPS pada tahun 2009 ini berjumlah 231 juta. Melihat data tersebut kekayaan budaya Indonesia sangat berlimpah sekali yang diaktualisasikan dalam bentuk, kesenian, upacara keagamaan, konsepsi ide-ide gagasan dan lain sebagainya. Oleh karena itu tidak perlu takut  kekurangan budaya bangsa, tetapi kita harus takut kehilangan budaya yang telah kita miliki, yang diklaim sebagai budaya negara lain.
Dari berbagai budaya lokal yang sangat banyak yang dimiliki bangsa Indonesia melahirkan sebuah identitas budaya Nasioanl. Berbagai budaya lokal Indonesia merupakan cikal bakal dari budaya nasional. Indonesia memiliki berbagai unsur kebudayaan yang unik dan khas yang bersumber dari keanekaragaman bangsa. Tujuh unsur kebudayaan  sebagaimana dikemukakan Koentjaraningrat, adalah sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem Ilmu pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem sarana kehidupan, sistem teknologi.[2]  Dengan demikian dapat dilihat, bahwa tari saman, kuda lumping, lagu rasa sayange adalah sebagian kecil  kesenian dari kekayaan budaya Indonesia, ibarat butir-butir pasir di laut budaya yang luas.
Berbagai budaya Indonesia yang ada harus dijadikan kebanggan bangsa, akan tetapi budaya tersebut tidak cukup hanya dijadikan kebanggaan semata, tetapi ada tugas besar yang harus dilaksanakan yaitu melestarikan budaya tersebut yang selanjutnya mewariskannya kepada generasi berikutnya. Suatu kesalahan besar apabila suatu bangsa yang memiliki beraneka ragam kebudayaan tidak dapat melestarikannya. Karena sebagus apapun budaya jika tidak ada rasa kepedulian, kepemilikan, serta kebanggaan, juga akan hilang sebagaimana buih-buih dilautan.[3] Kewajiban melestarikan kebudayaan merupakan tanggung jawab semua komponen masyarakat, bukan hanya tanggung jawab masyarakat pemilik budaya tersebut tetapi negara juga mempunyai kewajiban yang sama sesuai dengan amanat Undang Dasar Negara RI tahun 1945  (UUD 1945) Pasal 32 ayat (1)  dinyatakan, “Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasa masyarakat dalam  memelihara dan mengembangkan nilai–nilai budayanya”. Sudah sangat jelas konstitusi menugaskan  kepada pemerintah negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Berbagai kasus beberapa tahun kebelakang merupakan salah satu contoh bahwa kehilngan apa yang menjadi kebanggaan bangsa merupakan hal yang sangat menyakitkan. Klaim budaya bangsa oleh bangsa[4] lain merupakan momentum bagi anak bangsa untuk terus melestarikan dan menjaga budaya yang telah dimiliki.
Dalam era global, interaksi budaya  antar negara  dengan mudah terjadi, budaya bangsa Indonesia dengan mudah dinikmati, dipelajari, dipertunjukan, ditemukan di negara lain. Dengan demikian, seperti yang dikatakan Edi Wirawan (2008), dalam konteks pengembangan kebudayaan nasional, maka proses lintas budaya dan silang budaya yang terjadi harus dijaga agar tidak melarutkan nilai nilai luhur bangsa Indonesia.[5]
2.      Interaksi Budaya Lokal, Nasional dan Global
Era globalisasi yang ditandai oleh adanya saling kebergantungan (interdependence) antarnegara. Hal ini suatu hal yang tidak bisa dihindari, sebagai konsekuensi dari semakin longgarnya batas negara, akibat kemajuan dibidang teknologi informasi. Dunia menjadi tanpa batas, yang ditandai dengan tidak terhambatnya arus orang, barang dan jasa. Globalisasi juga ditandai dengan semakin bebasnya arus informasi dan komunikasi menembus batas-batas teritorial negara, membawa pengaruh dalam berbagai bidang. Komunikasi dan interaksi yang tidak dapat dibatasi oleh batas geografis dan teritorial, memungkinkan terjadinya interaksi dan keterpengaruhan.Termasuk di dalamnya adalah pola kepribadian, gaya hidup, dan kesenian. Semakin lemah suatu negara maka akan semakin besar dia terpengaruh dan bergantung. Sikap pragmatis, individualis, materialis dan hedonis merupakan hal-hal yang terbawa juga dan berpengaruh pada masyarakat. 
Saling pengaruh adalah proses yang biasa namun akan menjadi tidak biasa apabila tidak bisa mempertahanan identitas diri. Proses internalisasi nilai-nilai yang terbentuk bertahun-tahun  yang membentuk budaya, akan terdegradasi oleh nilai-nilai global karena tidak adanya kemampuan mempertahankan identitas diri. Pada akhirnya, budaya lokal yang sdah terbentuk melalui proses panjang, lama kelamaan dan dimulai dari kebiasaan-kebiasaan serta dari satuan-satuan kecil (individu, kelompok) sampai kepada satuan yang besar (suku, bangsa), akan hilang dan tergantikan oleh budaya luar secara pelan-pelan tapi pasti.
Arus budaya global dengan segala plus dan minusnya, merupakan tantangan besar bagi penataan nilai-nilai budaya dan watak bangsa (nation and character building). Hal ini merupakan persoalan serius, jika tidak ingin kehilangan nilai-nilai dan budaya adi luhung yang sudah terbentuk berabad-abad. Peningkatan daya tahan dan komitmen harus dilakukan secara sistematis, terintegrasi dan holistik. Tidak hanya lewat jalur pendidikan, tetapi juga non pendidikan. Formal dan informal. Antardepartemen dan lintas departemen.
Di tengah maraknya arus globalisasi yang masuk ke Indonesia, melalui cara  cara tertentu membuat dampak positif dan dampak negatif bagi bangsa Indonesia. terutama dalam bidang kebudayaan. Karena semakin terkikisnya nilai – nilai budaya kita oleh pengaruh budaya asing yang masuk ke negara kita. Oleh karena itu, untuk  meningkatkan ketahanan budaya bangsa, maka pembangunan nasional perlu bertitik-tolak dari upaya-upaya  pengem­bangan kesenian yang mampu melahirkan “nilai-tambah kultural”. Pakem-pakem seni (lokal dan nasional) perlu tetap dilanggengkan, karena berakar dalam budaya masyarakat.

3.      Kepemimpinan Pendidikan Di Era Global
Sebelum membahasa tentang kepemimpinan pendidikan, terlebih dahulu harus diketahui yang dimaksud dengan kepemimpinan secara umum kepemimpinan atau leadership berarti usaha mepengaruhi pihak lain dalam pengendalian organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Senada dengan yang disampaikan oleh Soekarno yang menyatakan bahwa kepemimpinan adalah keseluruhan aktivitas atau tindakan untuk mempengaruhi serta menggiatkan orang-orang dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan.[6] Selain itu, kepemimpinan juga bisa diartikan dengan seni mengkoordinasikan dan mendorong orang atau kelompok guna mencapai tujuan yang dikehendaki. [7]
Sementara itu kepemimpinan pendidikan sangat berbeda dengan kepemimpinan pada umumnya-misalnya kepemimpinan lembaga ekonomi ataupun poitik-. Syarat utama yang membedakaan antara pemimpin pendidikan adalah semua apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin pendidikan harus bertujuan dalam rangka mendidik. Pendidikan merupakan sarana yang paling efektif dalam mewariskan budaya nasional, yang semakin terkikis ditengah arus serangan budaya global melalui berbagai media. Untuk melestarikan budaya nasional lembaga pendidikan harus menjadi garda terdepan. Untuk mewujudkan semua itu dibutuhkan pemimpin pendidikan yang memliki kompetensi yang komprehensif.
Walaupun situasi sekarang berada pada era modern dan globalisasi, tetapi seorang pemimpin pendidik harus tetap mempertahankan budaya lokal ditengah arus global, karena diera yang serba mudah seperti saat ini interaksi budaya tidak bisa dihindari lagi, dan bangsa yang mampu mepertahankan jati dirinya lah yang menjadi pemenangnya. Sementara bangsa yang dengan mudah terpengaruh oleh budaya asing lama kelamaan identitas bangsa tersebut akan memudar. Oleh karena itu pemimpin pendidikan yang dibutuhkan diera global saat ini adalah yang mampu menghadsapi globalisasi tetapi tetap mempertahankan jai dirinya. Kearifan lokal tut wuri handayani serta budaya adi luhung yang semakin memudar di era modern harus dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan.
 Ada beberapa persyaratan yang harus dimilki seorang pemimpin pendidikan diantaranya menurut Imam Suprayogo adalah pertama, pertama pemimpin pendidikan harus memiliki daya lobi yang bagus, kedua pemimpin pendidikan harus mempunyai kredibilitas intelektual, ketiga mempunyai kemampuan untuk mensinergikan berbagai potensi yang ada, keempat mempunyai kemampuan membangun komunikasi yang baik. Sementara itu menurut Abuddin Nata yang membedakan kepemimpinan pendidikan dengan pemimpin lembaga bisnis adalah pemimpin pendidikan tidak harus tahu siapa pemilik dari lembaga tersebut sementara lembaga bisnis harus tahu siapa pemegang saham dari perusahaannya.[8] Selanjutnya Dedy Achmad Kurniady menguraikan syarat kepribadian sorang pemimpinPersyaratan-persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Rendah hati dan sederhana
2.      Bersifat suka menolong
3.      Sabar dan memiliki kestabilan emosi
4.      Percaya kepada diri sendiri
5.      Jujur, adil dan dapat dipercaya
6.      Keahlian dalam jabatan[9] 
Lebih lanjut Dedy juga menguraikan syarat keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin pendidikan yaitu berupa pertama keterampilan dalam memimpin, kedua keterampilan dalam hubungan insani, ketiga keterampilan dalam proses kelompok, keempat, keterampilan dalam administrasi personil dan kelima Keterampilan dalam menilai.[10]
Selain itu syarat kepemimpinan pendidikan lainnya adalah karena pendidikan merupakan sarana untuk mewariskan maka pemimpin pendidikan harus berlandaskan kearipan lokal dan budaya nasional. Semua itu penting dalam kepemimpinan mengingat disituasi global saat ini interaksi dengan dunia luar tidak bisa dihindari lagi, yang sedikitnya banyak berpengaruh terhadap budaya lokal ataupun budaya nasional. Tidak dipungkiri lagi disituasi global seperti saat ini.
Seorang pemimpin sangat dipengaruhi sekali oleh budaya yang ada disekitarnya, pemimpin yang berlatar belakang budaya jawa akan berbeda dengan yang berkebudayaan luar jawa, sehingga akan memiliki kekhasan sendiri. Ditengah interaksi budaya yang semakin mengglobal tantangan kepemimpinan pendidikan akan semakin besar terutama untuk bersaing dengan bangsa lain. Kepemimpin pendidikan harus bisa mensinergikan anatara berbagai budaya yang ada baik budaya lokal, budaya nasional ataupun budaya global. Sehingga dari berbagai budaya yang ada tersebut dapat diambil yang postifnya dan meninggalkan yang negatifnya. Karena tidak semua budaya yang dari luar semuanya negatif, tetapi ada hal-hal yang bisa diambil manfaatnya, seperti budaya kompetitif yang akan meningkatkan etso kerja.
David Whitfiled (2006:2-4), seperti yang dikutip oleh Istianah[11], seorang pengarang buku tentang kepemimpinan di bidang Pendidikan yang ada di Era Global ini mengatakan, bahwa bila seseorang mau untuk menjadi pemimpin  yang disenangi dan di ikuti maka ia harus memiliki beberapa kompetensi sebagai berikut ini :
1.      Kompetensi Kultural, yaitu seorang pemimpin global harus memahami bukan hanya akar budayanya sendiri, tetapi juga akan akar budaya orang lain, mengerti isu yang relevan, dan mampu bekerjasama dengan berbagai macam karakter orang dimana memiliki budaya yang berbeda dengan budaya  dirinya sendiri.
2.      Kompetensi politik, artinya seorang pemimpin global harus dapat memahami peta politik dan arah kebijakan politik dan harus dapat memahami implikasi geografis dan ekonomis dari suatu tindakan politik sehingga dibutuhkan pemahaman tentang struktur-struktur pemerintahan dan proses pengambilan kebijaksanaan lintas batas.
3.      Kompetensi internasional, artinya seorang pemimpin global harus mampu melihat dunia sebagai tempat yang penuh keragaman, komunutas yang heterogen, yang tersusun atas sistem fiskal, sosial, politik, ekonomi, dan komunikasi yang berbeda.
4.      Kompetensi Tekhnologi, artinya seorang pemimpin global harus mampu memanfaatkan tehnologi informasi sebagai sarana menjalin komunikasi, berkolaborasi, dan membangun kepercayaan.

Dalam salah satu artikel, Graen dan Hui (1999), seperti yang dikutip oleh oleh Muhamammad Afif,  berpendapat bahwa persepsi dari apa yang dimaksud sebagai pemimpin global pada saat ini akan berubah. Dimana saat ini pemimpin ditransfer dari satu lokasi ke lokasi lain. Maka yang akan muncul adalah “transcultural creative leaders”. Mereka merupakan orang-orang yang dapat belajar untuk:
1.      Merubah (transcend) akulturasi masa kecilnya dan menghormati budaya-budaya yang berbeda.
2.      Membangun hubungan kerja lintas-budaya untuk kepercayaan, penghormatan dan kewajiban.
3.      Terlibat dalam pemecahan masalah lintas budaya yang kreatif.
4.      Ikut terlibat dalam konstruksi budaya ketiga dalam berbagai operasi kerjanya.[12]
Berbagai persyaratan kepemimpin yang diajukan oleh beberapa ahli, pada akhirnya diharapkan menghasilkan pemimpin pendidikan yang dapat memperthankan identitas bangsanya dan terbuka terhadap segala informsi yang ada, karena interaksi budaya diera global tidak bisa dihidari. Sementara itu interaksi budaya global akan sangat mempengaruhi kepemimpinan pendidikan. Budaya global hedonisme, individualis, kompetitif, demokratis, transparansi terasa sekali dilingkungan lembaga pendidikan. Seorang pemimpin pendidikan akan sulit terhindar dari semua itu dan harus dihadapinya dengan berbasikan budaya lokal, sekali lagi pemimpin pendidikan harus mampu mensinergikan budaya global dengan budaya lokal yang ada.
Interaksi budaya yang begitu cepat akan sangat berpengaruh sekali terhadap kepemimpinnan pendidikan terutama dalam mengelola lembaga pendidikan. Berbagai bentuk jenis  lembaga pendidikan yang terus berubah merupakan salah satu contoh dari pengaruh budaya global. Jenis pendidikan anak usia dini, home schooling, sekolah terpadu, merupakan contoh konkrit dari usaha lembaga pendidikan untuk dapat menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, lebih jauh lagi persaingan antara lembaga pendidikan terlihat jelas sekali. Pemimpin yang baik persaingan dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas pendidikan dilembaga yang dipimpin.


4.      Kesimpulan
Era global yang serba mudah dalam berinteraksi menyebabkan saling mempengaruhi antar budaya. Bangsa yang mampu mempertahankan identitas budayanya akan menjadi pemenang dari interaksi budaya global. Interaksi budaya global akan sangat berpengaruh sekali terhadap kepemimpinan seseorang dalam mengelola lembaganya, tidak terkecuali lembaga pendidikan. Individualis, hedonisme, kompetitif adalah bentuk konkrit dari pengaruh budaya global.
Kepemimpinan pendidikan yang baik dalam menghadapi arus budaya global adalah : Pertama menghadapi budaya global bukan menghindari tetapi juga harus mampu memepertahankan jati diri budaya bangsa. Karena bangsa yang mampu mempertahankan budayanya adalah pemenangnya.
Kedua seorang pemimpin pendidikan harus mampu melakukan sinergi dari berbagai interaksi budaya yang ada untuk dijadikan kekutan.
Ketiga segala bentuk usaha yang dilakukan oleh pemimpin pendidikan harus berdasarkan pada jiwa mendidik.




DAFTAR PUSTAKA

Dedy Achmad Kurniady, Teori Pengelolaan Pendidikan, dalam http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/ diakses tanggal 21 November 2011
Edi Wirawan, Penguatan Budaya Nasional dalam Budaya Global (Yogyakarta: UGM, 2008)
Istianah, Perubahan Budaya Karena Pengaruh dari Luar makalah dalam, http://isbdti.blog.uns.ac.id, diakses tanggal 20 September 2011
Joko Widodo, Meneguhkan Identitas Budaya Nasional (Malang: UMM 2010)
Koentjaraningrat,  Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Djambatan 1997)
Muh. Hizbul Muflihin, Kepemimpinan Pendidikan: Tinjauan terhadap Teori Sifat dan Tingkah-laku (Purwokerto: Jurnal  INSANIA Vol. 13 No. 1 P3M STAIN Purwokerto 1 Jan-Apr 2008)
Muhamad Afif Hasbullah, Kepemimpinan Dalam Konteks Lintas Budaya, dalam http://unisda.ac.id/ , diakse tanggal 21 September 2011
Sukarto Indra Sukarto, Administrasi Pendidikan (Malang: IKIP Malang, 1986)



[1] Koentjoroningrat mengartikan budaya sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia, dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sementara Clifford Greetz, mengartikan budaya sebagai sebuah sistem berupa konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik sehingga dengan cara inilah manusia berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan serta sikapnya terhadap kehidupan. Sementara Sidi Gazalba mengartikan budaya sebagai cara berfikir dan merasa untuk kemudian dinyatakan dalam seluruh kehidupan kelompok manusia yang membentuk masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu.
[2] Koentjaraningrat,  Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia (Jakarta: Djambatan 1997) 10
[3] Joko Widodo, Meneguhkan Identitas Budaya Nasional (Malang: UMM 2010) 2
[4]Malaysia adalah negara yang paling sering mengklaim budaya Indonesia, ini semua karena secara terotorian negara tersebut berdekatan dengan negara Indonesia, sehingga akan menyebabkan banyaknya kesamaan budaya lokal, misalnya di Indonesia ada kuda lumping sementara di Malaysia ada jaran kepang yang merupakan keseninan tradisional yang sama dengan kuda lumping kesenian ini dibawa oleh orang jawa yang merantau ke Malaysia.
[5] Edi Wirawan, Penguatan Budaya Nasional dalam Budaya Global (Yogyakarta: UGM, 2008) h 4
[6]Sukarto Indra Sukarto, Administrasi Pendidikan (Malang: IKIP Malang, 1986) 110
[7] Muh. Hizbul Muflihin, Kepemimpinan Pendidikan: Tinjauan terhadap Teori Sifat dan Tingkah-laku (Purwokerto: Jurnal  INSANIA Vol. 13 No. 1 P3M STAIN Purwokerto 1 Jan-Apr 2008) 67-86
[8] Abuddin Nata, Disampaikan dalam mata kuliah Kepemimpinan Lintas Budaya Perspektif Pendidikan tanggal 28 September 2011
[9] Dedy Achmad Kurniady, Teori Pengelolaan Pendidikan, dalam http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/ diakses tanggal 21 November 2011, 3
[10] Dedy Achmad Kurniady, Teori Pengelolaan Pendidikan, dalam http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/ diakses tanggal 21 November 2011, 3
[11] Istianah, Perubahan Budaya Karena Pengaruh dari Luar makalah dalam, http://isbdti.blog.uns.ac.id, diakses tanggal 20 September 2011

[12] Muhamad Afif Hasbullah, Kepemimpinan Dalam Konteks Lintas Budaya, dalam http://unisda.ac.id/ , diakse tanggal 21 September 2011

GURU HARUS KOMPAK DISEKOLAH


MEDAN, DITPAIS - Pendidikan Islam jangan hanya berkutat pada masalah ketuhanan saja. Islam bukan hanya berada pada garis vertical tapi juga harus berada dan hidup pada masalah-masalah sosioal yang ada di bumi ini. Jelas Prof. Jafar Siddik, MA, selaku guru besar IAIN Sumut di Medan.
Keyakinan kepada Allah atau yang kemudian di sebut dengan Iman harus melahirkan semangat kebersamaan hidup dimasayarakat. "Iman bukan hanya melahirkan keshalehan personal tapi sesungguhnya yang lebih utama adalah kesalehan social". Paparmya
Disaat masih banyak persoalan-persoalan yang melibatkan para pelajara di negeri ini, seperi tindak kekerasan, tawuran, narkoba maka Pendidikan Agama Islam harus menjadi garda terdepan dalam upaya menyelesaikan persoalan terebut. "Para guru agama Islam di sekolah harus mampu memberikan pemahan yang konfrehensif dan holistic tentang Islam".
Maka, kemmapuan seorang guru agama harus diperdalam terhadap pemahan dan metodelogi dalam mengajarkan Islam kepada anak. Tukasnya
Sementara itu, sejalan dengan Jafar Siddik, Dr. Nurlena mengatakan bahwa "kelemahan guru Agama Islam di sekolah adalah kelemahanya dalam memahami Standar Isi dan tidak mampu merealisasikannya dalam Standar Proses". Terang Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Namun persoalan kenakalan pelajar bukan hanya menjadi tanggungjawab Pendidikan Agama Islam disekolah. Karena dalam UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, menyebutkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Maka berangkat daru Undang-undang ini jelas bahwa persoalan diatas menjadi tanggungjawab semua pihak, bukan hanya guru Agama Islam tapi juga mereka yang mengajar pada mata pelajaran selain agama di sekolah.
Oleh karena itu, agar apa yang menjadi tujuan dari pendidikan nasional dapat tercapai harus ada kerjasama antara guru agama dengan guru bukan agama dan juga termasuk kepala sekolah. Dengan kerjasama tersebut diharapkan akan tercipta budaya sekolah yang relegius, budaya yang menjadikan para siswa anti terhadap kekerasan, narkoba dan seks bebas. Imbuhnya
Selain itu, lanjut Nurlena, kerjasama juga harus dilakukan pihak sekolah kepada wali murid. Hal ini penting karena anak-anak lebih banyak berkumpul diluar sekolah. "Disekolah hanya sekitar 7 jam perhari atau kurang dari 30% sedangkan dilingkungan keluarga dan sekitarnya sampai 70%".
Maka dengan begitu, pendidikan informal sesungguhnya memiliki peram dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan pendidikan anak. Imbuh Nurlena
Source: kemenag.go.id

Mewujudkan Pendidikan Agama Yang Toleran

UPAYA MEWUJUDKAN PENDIDIKAN AGAMA YANG TOLERAN
Oleh: Caswita

1. Pendahuluan
Berdasarkan catatan sebuah LSM yang konsen bergerak dalam bidang penegakan demokrasi dan toleransi umat beragama yaitu The Wahid Institut pimpinan Yeni Wahid, tercatat sedikitnya pada tahun 2010 telah terjadi 63 kasus pelangaran kebebasan beragama yang rata-rata 5 kasus perbulan. Kemudian tindakan intoleransi pada tahun 2010 berjumlah 133 kasus yang terseber diberbagai wilayah. Tindakan tersebut tidak sedikit yang berakhir dengan tindak kekerasan. Dan The Wahid Institut kembali mencatat bahwa korban dari berbagai tindakan kekerasan, karena perbedaan agama, keyakinan dan intoleransi ini berjumlah 153 korban, baik individu atau kelompok. Ironisnya kekerasan tersebut banyak dilakukan oleh umat beragama dan mengatasnamakan agama, sehingga agama menjadi sebuah hal yang menakuatkan yang penuh dengan kekejaman dan kekerasan.
Agama seakan menunjukan wajah antagonisnya, disatu sisi agama menawarkan serta menjanjikan kedamaian, kebahagiaan, kasih sayang serta saling mencintai, tapi disatu sisi seakan bertolak belakang. Agama telah berperan sebagai pemicu konflik, permusuhan serta radikalisme dengan melakukan tindak kekerasan dengan dalil membela tuhan serta menggunakan dogma-dogma agama untuk melegitimasi tindakannya. The Wahid Institut melaporkan dari data para pelaku tindakan intoleransi dan diskriminasi bahwa ormas-ormas masih menjadi pelaku utama dengan 55%. Diikuti kelompok terorganisir 20% dan individu 15%.Ormas yang dimaksud di atas adalah ormas-ormas berbasis agama atau paling tidak beratribut agama tertentu. Mereka juga menggunakan jargon-jargon agama untuk menjustifikasi tindakannya.
Hidup ditengah masyarakat yang plural, dengan keragamaan suku, bangsa, agama dan budaya, sudah menjadi kewajiban untuk hidup secara bersama-sama dan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan multikulturalisme. Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan budaya dan berbagai berbedaan lainnya terutama agama, sudah tidak pantas masyarakatnya saling meghakimi antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dan menganggap dirinya paling benar. Prilaku saling mencurigai antara kelompok terutama antar umat beragama merupakan prilaku yang bisa menjadi pemicu tindakan intoleransi, ibarat bom waktu yang kalau dibiarakan pada waktunya akan berubah menjadi prilaku kekerasan.
Semua agama, apapun namanya tindak menghendaki adanya tidakan kekerasan, semuanya mengaku sebagai agama kasih sayang, cinta damai dan juga rahmatan lilalamin, oleh karena itu menjaga kerukunan antar umat beragama serta sikap toleransi merupakan tidakan yang wajib dan harus terus dibangun diantara umat beragama. Hal penting yang harus dilakukan dalam rangka menciptakan perdamaian, kasih sayang, toleransi, saling pengertian dan kerukunan hidup umat beragama adalah dengan cara membangun komunikasi antar agama yang humanis-dialogis. Komunikasi antar umat beragama ini merupakan media pembelajaran dan pendidikan dalam rangka menciptakan perdamaian (peace education), sikap egaliter, keterbukaan dan kejujuran.(Imam Machali: 2011).
Dalam kajian Bruce A. Robinson dalam “religious intolerance” (www.religioustolerance.org) menguraikan bentuk-bentuk intoleransi yang selama ini terjadi, diantaranya : Pertama, penyebaran informasi yang salah tentang kelompok kepercayaan atau praktek, meski ketidak akuratan informasi tersebut bisa dengan mudah dicek dan diperbaiki. Kedua penyebaran kebencian mengenai seluruh kelompok, misalnya menyatakan atau menyiratkan bahwa semua anggota kelompok tertentu itu jahat, berperilaku immoral, melakukan tindak pidana, dan sebagainya. Ketiga mengejek dan meremehkan kelompok iman tertentu untuk kepercayaan dan praktek yang mereka anut. Keempat mencoba untuk memaksa keyakinan dan praktek keagamaan kepada orang lain agar mengikuti kemauan mereka. Kelima pembatasan hak asasi manusia anggota kelompok agama yang bisa diidentifikasi. Keenam mendevaluasi agama lain sebagai tidak berharga atau jahat. Ketujuh menghambat kebebasan seseorang untuk mengubah agama mereka.

2. PERAN PENDIDIAN AGAMA MEWUJUDKAN TOLERANSI
Sikap toleransi wajib dipupuk sedini mungkin, mengingat semakin maraknya tindakan-tindakan intoleransi umat beragama yang mengusik keharmonisan kerukunan umat beragama. Pendidikan agama memilki peranan vital untuk menciptakan semua itu. Sikap fanatik yang berlebihan, menyalahkan kelompok atau golongan lain, mencurigai agama lain merupakan prilaku yang harus dikikis dari pikiran anak didik. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia harus mejadi pelopor dan contoh dalam hal toleransi, jangan sampai ada stigma negatif bahwa Islam agama dengan kekerasan. Islam sebagai agama dan sumber peradaban sangat konsen pada pembelaan terhadap segala bentuk penindasan dan mengajarkan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sikap toleransi, yakni penghormatan, penerimaan dan apresiasi terhadap keragaman agama, budaya, sudut pandang yang sesungguhnya melekat dalam Islam.
Untuk mewujudkan semua itu Guru agama Islam memiliki peran sentral dalam mengajarkan pendidikan agama Islam. Guru PAI sebaiknya tidak sibuk mengajak siswa yang berlainan agama untuk menjadi Islam, tetapi guru harus bisa menunjukan kesantunan dan kemuliaan akhlak prilaku umat Islam. Selanjutnya guru PAI bertugas menjadikan siswa menjadi manusia yang taat beragama dan menjalankan ajaran agama dengan baik dan benar. Selain itu juga harus bisa menjadikan peserta didik menjadi manusia yang bertanggung jawab baik sebagai individu ataupun sosial.
Pendidikan cintai damai, saling menghormati dan mengharagai antar sesama manusia tanpa memandang agama dan golongannya harus terus di ajarkan kepada peserta didik, agar dia lebih tahu bahwa hidup di muka bumi tidak hanya kelompok atau golongan agamanya saja tetapi ada agama dan kelompok lain. Program pendidikan cintai damai sejalan dengan program yang dicanangkan oleh UNESCO dengan menetapkan bahwa tahun 2000 sebagai tahun budaya damai internasional (International Year for the Culture of Peace) dan dekade tahun 2001 sampai 2010 sebagai dekade budaya damai dan tanpa kekerasan (International Decade for a Culture of Peace and Non-Violence for the Children of the World). Aspek-aspek yang dikembangkan pada program peace education adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity). (Imam Machali: 2011)
Untuk mewujudkan sikap toleransi antara umat beragama tidak mudah dilakukan oleh guru PAI, dengan alasan. Pertama Islam adalah agama yang didapat oleh siswa ataupun guru dari proses turun temurun, sehingga akan sulit membuka diri untuk menerima agama lain, dengan alasan takut adanya pengaruh agama lain sehingga melunturkan iman umat Islam. Kedua belum terbiasanya guru agama berdampingan atau berdialog dengan umat agama lain, sehingga menyebabkan terus saling mencurigai. Ketiga, minimnya ruang untuk melakukan dialog serta kerjasama antar umat beragama.
Menurut hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) UIN Jakarta, pimpinan Prof. Dr. Bambang Pranowo, yang dilakukan pada Oktober 2010-Januari 2011. Penelitian tersebut dilakukan degan melibatkan 590 dari total 2.639 guru PAI dan 993 siswa beragama Islam dari jumlah 611.678 murid sekolah menengah di Jabodetabek sebagai responden. Penelitian tersebut memberikan kesimpulan bahwa guru Pendidikan Agama Islam Se-Jabodetabek memiliki sikap intoleransi. Di kota besar saja yang masyarakatnya plural, multikultural para guru agama masih belum menerapkan sikap toleransi, bagaimana guru agama yang didaerah yang masyarakatnya homogen dan tidak lebih plural dari masyarakat kota, tentu kondisinya berbeda.
Kenyataan tersebut memang tidak bisa dipungkiri dan sulit dihindari karena pertama Islam yang didapat secara turun temurun, sangat menjiwai dan sulit menerima keberadaan dari agama yang lain. Kedua masih alerginya umat Islam terhadap hal-hal atau budaya yang berasal dari luar Islam, dengan dampak pengaruh buruk dari paham sekulerisme, pluralisme, liberalisme, multikulturalisme dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan sangat sulit melakukan dialog dengan umat yang beda agama. Ketiga masih adanya panatik berlebihan, tanpa melihat sisi-sisi universal kemanusiaannya. Komarudin Hidayat mengatakan dalam suatu seminar bahwa kita hidup satu bumi, satu matahari satu bulan, kenapa mesti ribut-ribut hanya karena berbeda, bukankah berbagai perbedaan itu akan menjadi rahamat bagi seluruh alam. Hanya akan menghabiskan waktu sia-sia kalau kita terus menerus saling curiga antar umat beragama sehingga menyebabkan tidak tenang dalam beribadah dan menjalankan ritual keagamaan lainnya.
Oleh karena itu peran aktif guru agama terutama pendidikan agama Islam untuk mewujudkan, agama Islam yang rahmatan lilalamain, yang saling menghargai antar manusia tanpa melihat agama, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, mewujudkan sikap toleransi, mutlak diperlukan. Untuk weujudkan semua itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh sorang guru PAI, pertama mengajarkan bagaimana rasulallah hidup bermasyarakat dengan umat non muslim, bagaimana beliau hidup rukun dan bergaul dengan orang yahudi dan nasrani. Misalnya bagaimana rasul begitu sayangnya terhadap nenek tua yahudi yang buta yang selalu menghinanya, tetapi rasul selalu menyuapi nenek tua buta tersebut, dengan penuh kasih sayang. Kedua guru PAI jangan sampai mengatakan bahwa agama lain itu salah, tetapi katakanlah bahwa agama itu benar menurut penganutnya masing-masing. Karena dalam Islam ada ayat yang menyatakan, “agamamu untukmu dan agamaku untukku”, itu menunjukan bahwa selain agama Islam ada agama lain yang harus dihargai. Ketiga membiasakan berdialog atau bergaul dengan umat agama lain, dengan melihat sisi-sisi universal dan kemanusiannya. Sehingga dengan begitu akan mewujudkan seorang muslim yang bersikap inklusif dan tidak ekslusif.
3. MODEL PENDIDIKAN AGAMA
Menurut Jack Seymour (1997) dan Tabita Kartika Christiani (2009), yang dikutip oleg Agus Nuryatno. Ada beberapa model-model pendidikan dan pengajaran agama, yaitu in, at, dan beyond the wall. Pertama adalah model pendidikan in the wall, yang berarti pendidikan agama yang hanya mengajarkan sesuai degan agamanya, tanpa adanya dialaog dengan agama lain. Model pendidikan agama ini menghasilkan peserta didik yang minim wawasan dan membuka pelung kesalah pahaman. Kedua at the wall, yaitu pendidikan agama tidak hanya mengajarkan agama sendiri, tetapi sudah mendiskusikannya dengan agama yang lain. Tahap ini merupakan tahap transformasi keyakinan dengan belajar mengapresiasi orang lain yang berbeda agama dan terlibat dalam dialog antar agama. Ketiga adalah beyond the wall, pendidikan agama model ini tidak hanya berdialog antar umat beragama tetapi mulai bekerja sama dengan agama lain untuk memerangi kekerasan, penindasan, mengkampanyekan keadilan, perdamaian serta hidup berdampingan tetunya dengan keyakinan agamanya masing-masing.
Selanjutnya guru agama harus bisa memilih model pendidikan agama yang ketiga yaitu bekerja sama dengan agama lain dalam hal kegiatan sosial masyarakat tanpa harus mencampuri wilayah keimanan masing-masing. Kemudian selanjutnya munginkan guru agama dengan sukarela melakukan kegiatan sosial, misalnya kegiatan donor darah, menyantuni kaum duafa, memerangi kebodohan, kemiskinan, bekerja sama dengan siswa agama lain.
4. Penutup
Pluralisme adalaha sebuah keniscayaan dan fakta sejarah yang tidak bisa dihindari, dinegara yang pural dan multikultural. Oleh karena itu saing menghargai perbedaan adalah keniscayaan, yang harus bisa diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Tidak boleh lagi ada saling kecurigaan diantara pemeluk yang berbeda agama. Toleransi merupakan bentuk dari upaya menghindari kekerasan atas nama agama, kekerasan karena perbedaan. Mudah-mudahan tidak akan ada lagi kekerasan atas nama apapun !

Minggu, 10 April 2011

Menteri Sesalkan RSBI Terkesan untuk Orang Kaya

Purwokerto - Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh menyayangkan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) terkesan menjadi sekolah untuk anak orang kaya. Padahal, sekolah ini lebih dimaksudkan untuk menggenjot kualitas pendidikan nasional.

"Sekolah dengan standar RSBI sering kali dianggap eksklusif dan dikesankan untuk orang kaya. Ini sangat bertentangan dengan prinsip sosial," kata Menteri Nuh di Auditorium Graha Widyatama Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat (1/4).

Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah amanat UU Sistem Pendidikan Nasional. Karena belum ada, maka RSBI menjadi cara untuk mencapai SBI. Namun berdasarkan evaluasi Kementerian Pendidikan Nasional, sekolah kini sering mengabaikan aspek legal, pedagogik dan sosial demi mengejar status RSBI. Akibatnya muncul kesan kalau RSBI menjadi sekolah untuk anak orang kaya.

"Oleh karena itu, saat ini setiap sekolah RSBI setidaknya harus menampung 20 persen siswa tidak mampu. Eksklusif boleh, asalkan bidang akademik, bukan karena status sosial," ucap Menteri Nuh. (Kem)
Source: http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2011/4/1/rsbi-%284%29.aspx

100 Kabupaten/Kota Terancam Dapat Sanksi Soal BOS

Purwokerto --- Pemerintah akan memberikan sanksi kepada kurang lebih 100 dari 497 kabupaten/kota yang terlambat dalam menyalurkan dana biaya operasional sekolah (BOS), hingga tenggang waktu triwulan pertama yaitu 15 Maret. Ada tiga sanksi yang diberikan.

Pertama, sanksi sosial. "Pemerintah akan mengumumkan kepada masyarakat luas tentang kabupaten/kota yang telat mencairkan bantuan tersebut," ujar Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam konferensi pers seusai meresmikan Gedung Auditorium Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.

Kedua, sanksi administratif oleh Kementerian Dalam Negeri. Ketiga, adalah sanksi finansial yakni berupa pengurangan bantuan pendanaan ke kabupaten/kota tersebut. Pengurangan dana tidak diambil dari dana pendidikan. Untuk sanksi ini, Kementerian Pendidikan Nasional berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.

Sejauh ini sanksi finansial masih dalam pembahasan tiga kementerian tersebut, terutama terkait dengan pos anggaran serta besaran potongan dananya. "Bentuknya bisa berupa pemotongan, baik melalui dana alokasi khusus (DAK) atau dana alokasi umum (DAU)," ujar Menteri Nuh.

Beberapa daerah yang terancam terkena sanksi antara lain sejumlah daerah di Jawa Timur, di Nanggroe Aceh Darussalam, Papua, dan Sumatera Utara. Adapun provinsi yang dinilai bagus penyaluran dana BOS adalah Jawa Tengah. Pada kesempatan itu, Menteri Nuh juga memastikan bahwa sistem pencairan dana BOS tetap akan menerapkan penyaluran melalui APBD. (Arif)
Source: http://www.kemdiknas.go.id/list_berita/2011/4/5/bos-%281%29.aspx